musimbunga

Monday, September 28, 2015

Bismillah, kembali

Assalamu'allaykum wr. Wb
Alhamdulillah pada akhirnya kembali mulai menulis blog lagi setelah beberapa tahun terakhir vakum dan blog lama di musimbunga.multiply.com sudah lenyap :(
InsyaAllah tulisan ke depan adalah tulisan yang didasarkan pada buah fikir juga pengalaman hidup yang berbeda karena rasanya dunia saya sudah semakin berbeda.
InsyaAllah  harapan utamanya agar Allah meridhoi.. Dan semoga cerita yang akan saya tulis bermanfaat bagi semua terutama untuk cermin diri saya sendiri..

:)

Nia Robie'


Wednesday, June 28, 2006

Surat Cinta untuk Lelaki Tua

Wajahmu menampakkan redup senja

Helaian hitam berubah menjadi putih

Keriput ada dalam lapisan ragamu

Aku adalah anak panahmu yang siap melaju pergi

Yang tidak mungkin terus menempel dengan busurnya

Jangan marahi aku jika rumah yang kutuju belum sempurna betul

dan tembok besar megah belum terlihat sejauh mata memandang

Ada air mata dalam gelap untuk mu

Yang berharap senyummu menghiasi setiap jalan sampai petang

Walau mulut ini terlalu kasar

dan mata ini terlalu keras memandang

Tapi sungguh aku ini anakmu

Yang menghargai betul peluhmu.

Berlalu

Ia menghilang di kejauhan
Deburan hatiku membawa mengikutinya
Mencari di balik awan

Tuntunlah! Yang Maha Tahu bersembunyi, tapi tetap peduli
Dalam keterasingan aku masih ditemani..
Bertutur panjang, dan Dia memberi jawaban

Tuntunlah! Dia menyampaikan salam dengan hati
Membawa pergi dengan utusan-utusan yang janjinya pasti

Aku ingin ia kembali, berceloteh maaf sampai senja hari..
Sampai yang hitam pun menjadi putih
Dan warna biru bersemayam dalam jiwa yang tak pernah mati
Walau harus melepas ia pergi

Cuma Mereka yang Mampu Menjawabnya

Tombak manakah yang mesti aku genggam?
Lagu apakah yang harus aku dendangkan?
Untuk membuatmu merekahkan bunga di titian merah pertiwi
Kesatuan yang mana?
Ada di jalankah, bersama batu-batu yang melayang liar
Atau ada di gelombang suara hinaan saudara sendiri?
Ada yang lupa bahwa nyawa bukan mainan
Juga mungkin mereka lupa bahwa kelokan persimpangan pasti tetap ada
Cuma mereka yang mampu menjawabnya.

Asinnya Luka
Ada anak duduk di atas bangku reot
Memegang perutnya yang sebenarnya membesar
Matanya sayu lelah dalam ketidakberdayaan

Ada ibu berujar dengan air mata
Menelan asin keringat sendiri
Tapi tidak menggenggam apa-apa

Mereka ada di gubuk tua
Dengan baju bagai lap kotor menapaki pori-pori tubuh
Yang jelas dengan luka
Tidak berdarah
Tapi ada di dada
Cerita duka ada di sejarah dalam kepalanya

Mereka tersungkur

Ada anak, ada ibu, bersemayam dalam penderitaan
Kelaparan... yang nyatanya berkepanjangan
Berakhir setelah semuanya tiada
Yang tentu masih menyisakan luka.



12 April 2006

Kebotakan Zaman
Jika semua saling menjatuhkan
Siapakah yang akan membangun peradaban?
Jika daun jatuh berguguran, dan tak ada yang menanam
Haruskah bumi ini didera kebotakan zaman?
Alam bergemuruh
Ketika merasa tidak dipedulikan
Isi perutnnya pun keluar karena manusia telah membolonginya
Dengan senjata yang mungkin sudah dianggap Tuhan
Sampai ada satu kata yang bermakna
Kematian...

Sunday, June 25, 2006

Dua Alam Bertautan

Dua alam menungguku untuk berdiri
Membangun dua rumah yang berbeda
Yang fana dan yang sejati
Walau yang sejati nampak maya
Dan yang fana nampak nyata
Keduanya pun membawa makna hakiki
Alam dunia memanggilku mengumpulkan kertas-kertas yang katanya berharga
Dan alam lainnya memanggilku mendendangkan pujian cinta yang tak berujung
Dua alam bertautan
Harus bertautan
Dunia, ladangnya akhirat
Bersemayam dalam alam yang ku percaya ada
Walau entah di belahan waktu dan ruang sebelah mana
Harus bertautan
Karena aku tak mau bingung di persimbangan jalan
Dan berat timbangan kemunafikan membawa ku keujung keterpurukan
Harus ada dua rumah
Harus ada dua alam
Yang saling bertautan

Wednesday, June 21, 2006

Ibu, Jangan Pisahkan Anakmu

Untuk banyak darah yang kau keluarkan
Untuk raga yang tumbuh dan berkembang
merangkak, berdiri, dan berlari
Bahwa ada satu kata kepastian
dan janji Tuhan yang teramat tinggi

Raganya jangan kau pisahkan dari jiwanya
Jangan teramat keji, Ibu
Sungguh syurga ada di telapak kakimu
tapi tentu kakimu teramat suci
menginjak nyawa yang beranjak pergi

Mereka tunasmu

Harapanmu menapaki aliran darah dalam tubuhnya

Jagalah ia untuk sebuah do'a
yang mengantarkanmu mendapat cahaya-Nya
... dan karena janji Tuhan adalah pasti
Jangan takut, Ibu
janji Tuhan adalah pasti
jangan pisahkan ia, Ibu
janji Tuhan adalah pasti
jagalah ia, Ibu
... dan karena janji Tuhan adalah pasti

20 Juni 2006

Sunday, June 11, 2006

Di Hadap-Mu

Seperti daun yang terus merunduk
Bertasbih mereka di hadap-Mu
Rotasi bumi terus melaju
Berzikir mereka di hadap-Mu
Patuh!, titah Raja semesta
Hanya diam yang mereka punya
Satu persatu mereka usang oleh waktu
Kembali ke pangkuan alam
Yang lain menerawang,
Karena mereka tahu
Akhirnya pasti seperti itu...
Bogor, 3 Juli 2002

Malaikat berkata; “Ia telah Sujud”

Nyamuk merajut kembali malam dengan isapan darah orang-orang yang alpa
Sang hitam menyapa dengan beberapa cahaya harapan
Sujud...
Sujud...
Pengharapan dalam beberapa untaian kata
Menghancurkan gunung-gunung kesalahan
Bertolak dari kefanaan
Sujud...
Sujud...
Sujud dalam kalam-kalam kesejatian
Bergelimang kepasrahan
Nafsu pun hilang dalam negeri yang hilang
Malaikat pun berkata;
“Ia sujud dengan pengharapan”
malaikat pun pergi, dengan proposal kehalalan
... sujud....
malaikat berkata; “Ia telah sujud”

Ia adalah BUMI

Dirinya mulai kerontang dimakan usia
Cacing-cacing dalam perutnya terus menghina
Ia terus menangis dalam kesendirian
Raga kehijauan luluh lantah gundul botak
tanpa suatu kepastian
Cairan tubuhnya kotor
Ia kini sudah tua, cantiknya pun terus berkurang
Ia meminta dalam kegaguan;
“hei… Bantu aku! Mereka telah melukai ku bukan hanya tubuh ku tapi juga jantung hatiku”
ia terdiam
-mungkin saja ia sedang memikirkan pembalasan-
Ku pikir ia butuh teman yang tidak tega membuangnya seperti orang tua yang di buang ke panti jompo tanpa kasih sayang…
tahukah kau? Ia adalah BUMI

Bopong Aku ke Negeri Itu

Sungguh, Kau telah menggenggam nadiku
Ada dalam hembusan nafas hamba yang lemah
Yang menyadarkan saat manusia alpa
Mengeluarkan setan yang terus mencambuk nafsu fana
Saat dunia terasa hampa
Dan air yang kuteguk semakin hilang rasa
Ia masih menemaniku
Dalam relung jiwa alam nyata atau bahkan yang tiada
Aku sadar aku ini orang alpa
Mengharapkan syurga keabadian
Tapi bekal tak seberapa
Menengadahkan langit menatap harap
Aku ingin melihat sinar itu di syurga
Ada dalam kumpulan orang-orang yang menatap dengan gembira
Aku rindu…
Aku ini orang alpa
Jangan tinggalkan aku
Bopong aku ke negeri itu

Tuesday, May 30, 2006

Lamunan di Pinggir Cisadane

Aku membayangkan banyak burung berkaca diatas sungai itu,
bercuit-cuit melepas lelah setelah sehari kepanasan
mendendangkan gita kedamaian…
Ada anak penuh senyum gembira bercanda dengan anak lainnya seakan dunia dihidupi lampu kebahagiaan, berenang bebas dengan banyak harapan
Ada ibu membawa setumpuk cucian kehidupan, membersihkan banyak kepenatan
Ada seorang pak tua memancing, ikan-ikan disana dengan senang hati melahap beberapa umpan, aneh… setelah mendapatkan ikan pak tua melempar kembali sang ikan ke sungai… yang jelas, hanya ada senyum kebanggaan.
Atau ada orang yang iseng duduk hanya memperhatikan salah satu sumber kehidupan
Aku tersenyum, semua itu mungkin! Mungkin! Pasti mungkin!
Cisadane butuh banyak teman, yang menghiasi aliran-aliran bukan dengan kotoran,
Semua mungkin ketika banyak anak, muda, tua lebih mempedulikan yang menyadari;
Cisadane salah satu sumber kehidupan…
Cisadane bukan milik siapa-siapa,
hanya yang pasti ia butuh kasih sayang di usia senja di antara bising keramaian

Muhasabah Para Jiwa

Kalam-Mu membuat banyak orang terkapar dan jatuh cinta
Mencintai-Mu sepenuh hati, impian seorang hamba

Duduk saja!
“Dengan menyebut nama-Mu yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”

Tarik nafas dalam-dalam, perlahan-lahan kelegaan keluar lewat hidungmu
Masa kanak-kanak muncul dari balik ingatanmu
Berderet rapi cerita-cerita, bahkan roman-roman kehidupan
Kamu masih memejamkan mata, ada senyum, kadang wajah ketakutan disana
Saat tersenyum, kau bersyukur memberikan secuil arti kehidupan bagi dirimu dan yang lainnya
Dan saat wajah ketakutan muncul disana, hati kecilmu berkata
“Aku takut neraka...”

Bogor, 2004

Friday, April 21, 2006

Musim Bunga

Musim bunga, gugur
Kelopaknya jatuh
Yang tak lagi merah jambu
Di denyut hidupnya
Ada yang tergores
Sedikit terkikis
Hilang entah kemana
Membiarkannya pergi dengan gandengan angin
Musim bunga, yang malas bicara
Malas berujar dengan air mata
Biar ia berlalu
Walau ada rongga menganga
Di tubuhnya.


15 April 2006